Supriansa Sampaikan Pandangan DPR Atas Gugatan UU Praktik Kedokteran

Editor: redaksi supriansa - 03/07/2023 | 13:39 Wita

Redaksi — Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Kedokteran), pada Selasa (16/5/2023) di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 21/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Gede Eka Rusdi Antara (Pemohon I), Made Adhi Keswara (Pemohon II), dan I Gede Sutawan (Pemohon III) yang merupakan Dokter Spesialis Bedah.

Dalam sidang ketiga dengan agenda mendengarkan keterangan DPR ini, Supriansa menyampaikan pandangan pembuat undang-undang atas para Pemohon yang mendalilkan Pasal 69 ayat (1) UU Praktik Kedokteran terutama terhadap frasa “Mengikat dokter gigi dan Konsil Kedokteran Indonesia” yang dinilai bertentangan secara bersyarat dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G UUD 1945. Berdasarkan pokok permohonan, DPR menilai Pemohon I dan II adalah orang yang sama dengan Pemohon pada Perkara Nomor 119/PUU-XX/2022. Dengan demikian, DPR berpandangan permohonan ini tidak dapat diajukan kembali atau nebis en idem.

Sementara itu terhadap dalil permohonan, Supriansa menyebutkan MKDKI merupakan sebuah lembaga yang memiliki fungsi dan tugas untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi dan menetapkan sanksi. Di samping itu, MKDKI merupakan lembaga otonom independen dalam melaksanakan tugasnya, sehingga pihaknya dapat mencegah kemungkinan pengaruh atau intervensi lembaga lain.

Pada dasarnya, sambung Supriansa, MKDKI dapat mengakomodasi kepentingan masing-masing pihak, terutama memberi kesempatan kepada dokter teradu atau yang diadukan untuk membuktikan apakah telah melanggar disiplin kedokteran atau sebaliknya. Sementara itu, mereka yang merasa dirugikan dapat pula diberikan haknya untuk mengadu. Sehingga proses demikian akan menciptakan kepastian hukum yang adil antara keduanya.

“Adapun keterkaitan antara kedudukan MKDI dan KKI memiliki independensi masing-masing dalam menjalankan tugasnya. Maka keputusan MKDKI juga diatur mengikat dan memiliki implikasi logis terhadap dokter, dokter gigi, dan KKI. Keputusan yang mengikat tersebut bukan berarti KKI berada di bawah MKDI, karena pengaturan demikian diberikan DPR untuk menjaga independensi masing-masing lembaga. Dengan pengaturan tersebut, memberikan kedudukan pada KKI untuk melaksanakan keputusan MKDI dengan putusan KKI. Adanya kasus pencabutan STR Pemohon dilaksanakan atas keputusan KKI, sehingga hal tersebut tidak dapat dipengaruhi oleh lembaga lainnya,” urai Supriansa dalam sidang yang dihadirinya secara daring dengan dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi Wakil Ketua MK Saldi Isra bersama dengan tujuh hakim konstitusi lainnya.

Menanggapi keterangan DPR tersebut, Hakim Konstitusi Suhartoyo meminta agar DPR memperjelas mengenai persoalan yang dialami Pemohon. Karena kasus konkret yang dialami Pemohon adalah Pemohon telah mendapatkan Putusan dari MKDKI, namun KKI mengeluarkan surat keputusan tindak lanjut atas putusan MKDKI.

“Itu menjadi ruang berarti kalau putusan MKDKI ditindaklanjuti oleh KKI dengan produk surat keputusan lagi. Berarti di situ masih ada ruang diskresi yang kemudian dikaitkan Pemohon untuk men-challenge Pasal 69 ayat (1) [UU Kedokteran]. Barangkali di sana disediakan ruang untuk pembelaan diri, banding, dan lainnya. Meskipun tadi sudah disinggung oleh Pak Supriansa, tapi sepertinya letaknya berbeda. Letak yang diinginkan Pemohon dengan aturan yang sudah ada,” ujar Suhartoyo.

Sebelumnya, para Pemohon mengatakan pihaknya menitikberatkan pada legal standing dan nebis in idem. Untuk pasal yang diuji adalah Pasal 69 ayat (1) UU Praktik Kedokteran terutama terhadap frasa “Mengikat dokter gigi dan Konsil Kedokteran Indonesia” yang dinilai bertentangan secara bersyarat dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G UUD 1945. Pemohon I dalam menjalankan praktik kedokteran memiliki persoalan yakni dilaporkan MK DKI berdasarkan pengaduan Nomor 7 Tahun 2022. Padahal dalam melaksanakan praktik kedokteran operasi terhadap pasien, Pemohon I dan Pemohon II telah menjalankan praktik berdasarkan disiplin keilmuan yang dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam menjalankan pemeriksaan di MKDKI, Pemohon I dan Pemohon II mendapatkan proses yang tidak transparan dan tidak berkeadilan serta tidak terdapat pelanggaran atas hak-hak yang dijamin oleh konstitusi yang kerap terjadi selama proses MKDKI. Adapun pelanggaran-pelanggaran atas hak Pemohon I dan Pemohon II dalam memeriksa teradu MKDKI membentuk Majelis Pemeriksa Disiplin disebut MPD yang di dalamnya terdapat unsur Sarjana Hukum, padahal fungsi MPD adalah untuk memeriksa adanya pelanggaran disiplin bagi dokter saat menjalankan praktek kedokteran. Selanjutnya, Pemohon I dan Pemohon II didampingi oleh kuasa teradu, namun kuasa pihak teradu tidak dapat melakukan pembelaan ataupun memberikan keterangan menurut kuasa teradu perlu diberikan dalam rangka membela hak teradu sebagai pemberi kuasa atau hanya mencatat saja.

Singkatnya, saksi dan ahli yang dihadirkan oleh Pemohon diperiksa oleh MPD tanpa dihadiri oleh yang bersangkutan, ia tidak mengetahui pertanyaan yang diajukan oleh MPD. Atas hal ini, Pemohon meminta UU Praktik Kedokteran dinyatakan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), dan Pasal 28 ayat (1) UUD 1945 sepanjang frasa “Mengikat dokter, dokter gigi dan Konsil Kedokteran Indonesia” tidak dimaknai bersifat rekomendasi dan mengikat dokter, dokter gigi, dan KKI serta tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk mengajukan gugatan perdata atau pidana. Selain itu, para Pemohon juga menilai pasal yang diujikan telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil karena mendudukkan KKI sebagai lembaga yang berada di bawah MKDKI karena keputusan MKDKI yang langsung mengikat KKI dalam membuat KKI bagi teradu. Padahal putusan MPD yang memberikan sanksi dituangkan dalam keputusan MKDKI pasal 69 ayat (3) adalah rekomendasi. Untuk itu, Pemohon meminta agar pasal a quo dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. (*)